Fakultas Hukum Universitas Gresik - 561
Jurnal Pro Hukum:
Jurnal Penelitian Bidang Hukum Universitas
Gresik Volume 12 Nomor 2,Februari 2023
pISSN 2089-7146 - eISSN 2615-5567
KEWENANGAN NOTARIS DALAM MEMBUAT AKTA BERKAITAN DENGAN
HASIL AUTOPSI SEBAGAI ALAT BUKTI PADA PERKARA PIDANA
Annisa Rheinata Suhartono, Mohamad Fajri Mekka Putra,
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia
1
,
Universitas Indonesia
2
annisarhei@gmail.com
1
, fajriputra@yahoo.com
2
ABSTRAK
Pada tahap penyidikan perkara pidana yang menimbulkan kematian dilakukan pencarian serta
pengumpulan alat bukti, Salah satu alat bukti yang dapat dilampirkan adalah visum et
repertum yang termasuk dalam keterangan ahli. Adapun yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini adalah adalah bagaimana kewenangan notaris dalam melegalisasi keterangan
berkaitan dengan hasil autopsi kemudian bagaimana akibat hukum dari keterangan hasil
autopsi yang telah dilegalisasi oleh notaris. Penelitian ini menggunakan metode penelitian
yuridis normatif, dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan, diperoleh hasil bahwa notaris tidak mempunyai kewenangan untuk membuat akta
mengenai autopsi, karena autopsi merupakan kegiatan yang oleh undang-undang telah
ditugaskan kepada dokter forensik. Bahwa terhadap akta notaris yang memuat hasil autopsi
tidak memiliki kekuatan pembuktian sehingga bukan merupakan alat bukti yang sah dalam
perkara pidana.
Kata kunci: alat bukti, kewenangan, notaris dan autopsi
ABSTRACT
At the stage of investigating criminal cases that cause death, a search and collection of
evidence is carried out, one of the evidence that can be attached is visum et repertum which
is included in expert testimony. The problem in this study is how the notary's authority in
legalizing information related to autopsy results then what are the legal consequences of
autopsy information that has been legalized by a notary. This research uses normative
juridical research methods, using a qualitative approach. Based on the research conducted,
it was found that notaries do not have the authority to make deeds regarding autopsies,
because autopsies are activities that by law have been assigned to forensic doctors. That the
notarial deed containing the autopsy results has no evidentiary power so that it is not a valid
evidence in criminal cases.
Keyword : evidence, authority, notary and autopsy
Fakultas Hukum Universitas Gresik - 562
PENDAHULUAN
Pada dasarnya hukum mempunyai
dua bentuk dalam pelaksanaanya, yaitu
hukum materiil dan hukum formal. Hukum
materiil pada pokoknya mengatur
mengenai kewajiban individu dalam
kehidupan bermasyarakat, yang kemudian
berdasar pada lingkupnya pengaturan
tersebut disebut dengan istilah-istilah
hukum pidana dan hukum perdata.
Sedangkan hukum formal sendiri pada
pokoknya mengatur mengenai cara
penegakkan hukum materiil agar berjalan
sebagaimana mestinya, yang dalam ilmu
hukum dikenal dengan istilah hukum acara
pidana dan hukum acara perdata
(Krisnawati, 2015).
Kemudian dalam hukum acara
pidana ataupun perdata terdapat hukum
pembuktian yang mengatur mengenai
sistem pembuktian, alat bukti, ketentuan
dan mekanisme dalam mengajukan alat
bukti, serta kewenangan hakim terhadap
alat bukti (Sasangka & Rosita, 2003). Alat
bukti yang dianggap sah dalam hukum
acara pidana diatur dalam Pasal 184 Kitab
Undang- Undang Hukum Acara Pidana
(selanjutnya disebut KUHAP) diantaranya
adalah keterangan saksi, keterangan ahli,
surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa
(Hamzah, 2015). Alat bukti tersebut
berbeda dengan yang dianggap sah dalam
hukum acara perdata sebagaimana diatur
dalam Pasal 1866 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (selanjutrnya disebut
KUHPerdata) yaitu bukti tulisan, saksi,
persangkaan, pengakuan, dan sumpah.
(Subekti & Tjitrosudibio, 2013)
Dalam perkara perdata alat bukti
tulisan merupakan alat bukti yang
diutamakan. Bukti tulisan tersebut terbagi
menjadi dua yaitu akta autentik dan akta di
bawah tangan. (Imron & Iqbal, 2019)
Kedua akta tersebut memiliki perbedaan
dalam sisi kekuatan pembuktian, akta
autentik memiliki kekuatan pembuktian
lebih kuat. Notaris merupakan pejabat
umum yang mempunyai kewenangan
untuk membuat akta autentik. (Indoneisa,
2014)
Sedangkan dalam perkara pidana terdapat tahap
penyidikan yang merupakan bagian dari proses
pemeriksaan. Penyidikan merupakan tindakan untuk
memperoleh serta mengumpulkan bukti, yang
kemudian dengan adanya bukti tersebut dapat
mendapati tersangka dalam perkara pidana tersebut.
(Harahap, 2007). Penyidikan merupakan kewenangan
dari pejabat polri atau pejabat negeri tertentu” yang
kemudian dalam menjalankan kewenangannya
tersebut dikenal dengan sebutan penyidik.
Berdasarkan Pasal 133 KUHAP dinyatakan
bahwa Dalam hal penyidik untuk kepentingan
peradilan menangani seorang baik luka, keracunan,
ataupun mati yang diduga karena peristiwa tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan
keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman
atau dokter dan ahli lainnya (Hamzah, 2015).
Berkaitan dengan alat bukti keterangan ahli, maka
dapat disampaikan dalam dua wujud, yaitu lisan dan
tulisan. Keterangan ahli yang berasal dari hasil
pemeriksaan (autopsi) terhadap tubuh korban yang
diberikan dalam wujud tulisan dikenal dengan istilah
Visum et Repertum (Imron & Iqbal, 2019).
Pada peristiwa tindak pidana yang menyebabkan
kematian maka pengajuan Visum et Repertum tersebut
dapat dimintakan guna mengetahui sebab serta cara
kematian. Berkaitan dengan hal tersebut dalam
penyidikan yang dilakukan dalam perkara kematian
anggota polisi dengan inisial NYH, yang dalam proses
penyidikan telah dilakukan dua kali autopsi.
Autopsi kedua dilakukan karena terdapat
keraguan dari pihak keluarga NYH terhadap hasil
autopsi pertama. Dengan begitu dilakukan autopsi
kedua dengan melibatkan pihak keluarga yaitu MAR
yang berprofesi sebagai dokter umum dan IHL yang
merupakan pemilik klinik dengan gelar magister
kesehatan, keduanya berperan untuk mengawasi
jalannya autopsi (Suparman, 2022). Hasil dari autopsi
baru dapat dirilis dalam waktu dua hingga empat
minggu (Tim Detik, 2022). Kemudian berkaitan
dengan hasil catatan dari MAR dan IHL selama
mengawasi proses autopsi tersebut, kuasa hukum
pihak keluarga NYH yaitu KS menyatakan telah
membuat akta notaris berdasar pada keterangan serta
catatan dari MAR dan IHL (Suparman, 2022). Akta
notaris tersebut kemudian diajukan oleh kuasa hukum
keluarga NYH menjadi alat bukti dalam tahap
penyidikan
Fakultas Hukum Universitas Gresik - 563
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan
metode penelitian yuridis normatif.
Penelitian yuridis normatif adalah
penelitian yang difokuskan untuk
mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau
norma-norma dalam hukum positif
(Ibrahim, 2006). Berdasarkan jenis dan
bentuknya, data yang diperlukan dalam
penelitian ini adalah data sekunder yang
diperoleh melalui studi kepustakaan.
Dalam penelitian ini, data yang
digunakan mencakup bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder.
Pengumpulan bahan hukum dilakukan
melalui studi kepustakaan. Pendekatan
dilakukan secara kualitatif, dari bahan
hukum sekunder, karena lebih
mementingkan kualitas atau isi dari data
dan peraturan-peraturan yang berkaitan.
Penelitian kualitatif merupakan suatu
rangkaian penelitian guna memperoleh
pemahaman mengenai fenomena-
fenomena yang terjadi yang memiliki
keterkaitan dengan manusia selaku
individu atau sosial dengan membuat
bayangan secara menyeluruh dan
kompleks yang kemduian dituangkan
dalam susunan kalimat (Walidin,
Saifullah, & Tabrani, 2015). Penelitian
ini dilakukan dengan tujuan untuk
menganalisis kewenangan notaris dalam
membuat akta autentik berkaitan dengan
hasil autopsi dan untuk menganalisis
akibat hukum yang timbul dari akta
notaris yang memuat mengenai hasil
autopsi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kewenangan Notaris dalam Membuat
Akta mengenai Hasil Autopsi
Notaris merupakan pejabat umum
yang diberikan kewenangan oleh
pemerintah secara atributif berdasarkan
undang-undang. Kewenangan tersebut
berupa menjalankan sebagian fungsi
negara dibidang perdata. Dasar ketentuan
yang melahirkan adanya jabatan notaris di
Indonesia adalah ketentuan Pasal 1868
KUHPerdata dan Undang-Undang Jabatan
Notaris.
Ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata pada
pokoknya mensyaratkan beberapa hal dalam
pembuatan suatu akta agar dapat dikategorikan sebagai
akta autentik, diantaranya sebagai berikut:
1. Akta harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan
oleh undang-undang.
2. Akta harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat
umum
3. Pejabat umum yang mempunyai kewenangan
untuk itu dan di tempat dimana akta dibuat.”
(Subekti & Tjitrosudibio, 2013)
Ketiga syarat ini harus dipenuhi secara
keseluruhan agar suatu akta dapat dikategorikan
sebagai akta autentik.
Kemudian pejabat umum yang dimaksud dalam
pasal tersebut diatur lebih lanjut dalam Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 jo Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris
(selanjutnya disebut UUJN). Hal tersebut sejalan
dengan Pasal 1 UUJN yang menyebutkan Notaris
adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta
autentik… (Indoneisa, 2014). Dengan begitu
pembuatan akta yang dibuat oleh atau dihadapan
notaris merupakan akta notaris yang bersifat autentik.
Kewenangan notaris untuk membuat akta
autentik lebih jelas serta diberikan pula batasnnya
termuat dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN :
Notaris berwenang membuat Akta autentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan
yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan
dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan
untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin
kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta,
memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta,
semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga
ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau
orang lain yang ditetapkan oleh undang-unda ng.
(Indoneisa, 2014)
Selain membuat akta autentik notaris juga
mempunyai kewenangan untuk melakukan legalisasi,
legarisir serta waarmerking sebagaimana termuat
dalam Pasal 15 ayat (2) UUJN (Indoneisa, 2014).
Kemudian berdasarkan Pasal 15 ayat (3), notaris juga
dimungkinkan memiliki kewenangan lain apabila
terdapat peraturan perundang-undangan selain UUJN
menghendaki demikian (Indoneisa, 2014).
Berkaitan akta autentik yang dihasilkan dengan
melibatkan pejabat umum notaris, maka terhadap akta
tersebut berdasarkan Pasal 1970 KUHPerdata
memiliki pembuktian yang sempurna sebagai alat
bukti (Subekti & Tjitrosudibio, 2013). Hakim dalam
perkara perdata pada pokoknya hanya mencari
Fakultas Hukum Universitas Gresik - 564
kebenaran formal, dengan begitu akta
autentik sudah dapat dikatakan sebagai
alat bukti yang kuat tanpa harus adanya
tambahan alat bukti (Anggun, 2019).
Berbeda dengan dalam perkara
pidana yang menjadi alat bukti utama
adalah kesaksian. Namun terdapat
ketentuan dalam Pasal 183 KUHAP yang
mensyaratkan sekurang-kurangnya
terdapat dua alat bukti untuk kemudian
dapat hakim jatuhkan pidana terhadap
terdakwa (Hamzah, 2015).
Dalam perkara pidana yang
menimbulkan hilangnya nyawa seseorang
dalam tahap penyidikan dapat dilakukan
autopsi (Sitorus, Sihombing, Sianipar,
Simamora, & Hutabarat, 2022). (Lestari &
Koswara, 2022). Autopsi yang diajukan
dalam tahap tersebut merupakan autopsi
forensik. Autopsi forensik merupakan
proses pemeriksaan dengan cara
pembedahan pada seluruh bagian pada
tubuh mayat dari ujung kepala sampai
dengan ujung kaki (Lestari & Koswara,
2022). Autopsi forensik sendiri
mempunyai tujuan mendapatkan
kebenaran yang bersifat materill dalam
perkara pidana terkait, diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Mengungkap identitas mayat
2. Menentukan cara terjadinya kematian
(penganiayaan, pembunuhan,
kecelakaan, atau cara lainnya).
3. Menyingkap hal-hal yang berkaitan
dengan tindak pidana yang
mengakibatkan timbulnya kematian.
(lebih rinci dari cara terjadinya
kematian).
4. Menyingkap identitas dari mayat
terkait. (Lestari & Koswara, 2022).
Pengaturan mengenai autopsi secara
khusus diatur dalam Pasal 133 ayat (1)
KUHAP sebagai beriut:
Dalam hal penyidik untuk
kepentingan peradilan menangani seorang
korban baik luka, keracunan ataupun mati
yang diduga karena peristiwa yang
merupakan tindak pidana, ia berwenang
mengajukan permintaan keterangan ahli
kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter dan atau ahli lainnya. (Hamzah,
2015).
Kemudian terhadap hasil autopsi tersebut
dituangkan pada laporan yang disebut dengan istilah
visum et repertum. (Imron & Iqbal, 2019).
Berdasarkan pasal 187 KUHAP, keterangan ahli yang
dituangkan dalam bentuk tulisan diluar persidangan
dikategorikan sebagai alat bukti surat. Namun terdapat
pengecualian terhadap visum et repertum, karena
dokter dianggap telah melakukan sumpah dokter yang
telah diucapkan ketika menyelesaikan pendidikan
kedokterannya. (Anggun, 2019) Dengan begitu, visum
et repertum meski dalam bentuk tertulis, namun
merupakan keterangan ahli dan merupakan alat bukti
yang sah dalam perkara pidana.
Kemudian apabila dikaitkan dengan perkara
pidana dalam yang menyebabkan hilangnya nyawa
NHY, yang mana pada tahap penyidikan KS selaku
kuasa hukum dari keluarga NHY mengajukan alat
bukti berupa akta notaris mengenai hasil autopsi.
Sebagaimana disebutkan pada Pasal 133 KUHAP ayat
(1) bahwa meminta dilakukannya autopsi pada mayat
merupakan kewenangan dari penyidik (Hamzah,
2015). Selain itu permintaan tersebut hanya dapat
dimintakan pada orang yang dianggap orang yang
dianggap ahli pada umumnya adalah dokter forensik.
Dengan begitu pihak yang berwenang dalam
menuangkan hasil autopsi dalam bentuk tulisan pada
suatu surat adalah tim dokter forensik yang melakukan
autosi langsung pada tubuh mayat NHY.
Kemudian dalam hal ini MAR dan IHL
memberikan keterangan mengenai kejadian yang
didengar serta dilihatnya langsung dalam autopsi
kepada notaris dengan maksud untuk dibuatkan akta
notaris berkaitan dengan hal tersebut. Berdasarkan
Pasal 15 ayat (1) UUJN disebutkan bahwa notaris
mempunyai kewenangan untuk membuat akta autentik
mengenai perbuatan, perjanjian dan ketetapan,
sedangkan dalam hal ini MAR dan IHL hendak
memberikan keterangan mengenai kejadian yang
didengar serta dilihatnya langsung.
Selanjutnya dalam pasal tersebut juga
mengecualikan notaris dalam kewenangannya untuk
membuat akta autentik dalam hal …pembuatan Akta
itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada
pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
undang-undang”. Sebagaimana dalam ketentuan Pasal
133 KUHAP yang menyebutkan bahwa autopsi
ditugaskan kepada orang lain yaitu dokter forensik
(Hamzah, 2015). Dengan begitu untuk membuat surat
mengenai hasil autopsi bukan merupakan kewenangan
dari notaris, melainkan pihak yang ditunjuk oleh
penyidik untuk melakukan autopsi.
Akibat Hukum Akta Notaris yang memuat Hasil
Fakultas Hukum Universitas Gresik - 565
Autopsi
Pembuktian merupakan salah satu
proses pada hukum acara pidana yang
menerangkan dengan bukti mengenai
benar atau salahnya terdakwa dalam
sidang pengadilan (Tim Penyusun Kamus
Pusat Bahasa, 2008). Pembuktian sendiri
pada dasarnya bertujuan untuk
memberikan keyakinan kepada hakim
terhadap dalil yang dikemukakan dalam
persidangan. Dalil tersebut berupa
keterangan yang dipertahankan sebagai
suatu kebenaran berkaitan dengan suatu
peristiwa. Keterangan tersebut juga harus
dilengkapi dengan alat bukti (Samudera,
2012).
Kemudian berkaitan dengan alat
bukti surat pada perkara pidana dibagi
menjadi empat macam dalam Pasal 187
ayat (1), diantaranya adalah sebagai
berikut:
a. berita acara dan surat lain dalam
bentuk resmi yang dibuat oleh
pejabat umum yang berwenang
atau yang dibuat di hadapannya,
yang memuat keterangan tentang
kejadian atau keadaan yang
didengar, dilihat atau yang
dialaminya sendiri, disertai
dengan alasan yang jelas dan
tegas tentang keterangannya itu;
b. surat yang dibuat menurut
ketentuan peraturan perundang-
undangan atau surat yang dibuat
oleh pejabat mengenai hal yang
termasuk dalam tata laksana yang
menjadi tanggung jawabnya dan
yang diperuntukkan bagi
pembuktian sesuatu hal atau
sesuatu keadaan;
c. surat keterangan dari seorang ahli
yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya
mengenai sesuatu hal atau sesuatu
keadaan yang diminta secara
resmi dari padanya;
d. surat lain yang hanya dapat
berlaku jika ada hubungannya
dengan isi dari alat pembuktian
yang lain.” (Hamzah, 2015).
Sebagaimana disebutkan pada huruf
a dan b, bahwa surat yang dimaksud dalam
hal ini merupakan akta autentik. Dengan begitu, akta
notaris yang dibuat oleh atau dihadapan notaris, berita
acara persidangan yang dibuat oleh juru sita, visum et
repertum oleh dokter forensik, serta akte kelahiran
yang dibuat oleh pejabat pencatat sipil dapat pula
dijadikan alat bukti dalam perkara pidana.
Berkaitan dengan akta notaris yang memuat
hasil autopsy yang diajukan oleh kuasa hukum
keluarga NYH dalam tahap penyidikan, maka perlu
diperhatikan pengaturan mengenai akta autentik itu
sendiri. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya,
agar suatu akta dapat dikategorikan sebagai akta
autentik maka Pasal 1868 KUHPerdata mensyaratkan
pejabat yang terlibat dalam pembuatan akta harus
merupakan pejabat yang berwenang untuk itu. Kata
itu dalam hal ini mengacu pada hasil autopsy, yang
mana tidak termasuk dalam kewenangan notaris.
Selain itu dalam Pasal 187 ayat (1) huruf a dan b
mensyaratkan surat yang dapat dijadikan alat bukti
yang sah dalam perkara pidana adalah surat yang
dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk
dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya
(Hamzah, 2015). Sedangkan dalam hal ini pelaksanaan
autopsi merupakan tanggung jawab dari dokter
forensik sebagaimana diatur dalam Pasal 133 KUHAP
(Hamzah, 2015).
Kemudian dalam Pasal 187 ayat (1) huruf c
KUHAP juga terdapat surat keterangan ahli, dalam hal
ini autopsi merupakan kegiatan yang memerlukan
keahlian khusus dalam hal ini forensik (Hamzah,
2015). Selanjutnya untuk dapat melakukan serta
memberikan penjelasan atau gambaran dari hasil
autopsi sendiri dibutuhkan pemahaman terkait hal
tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa MAR dan IH
bukan merupakan orang yang memiliki keahlian
forensik dan juga perannya dalam keberlangsungan
autopsi hanya sebagai pengawas. Dengan begitu MAR
dan IHL tidak dapat mempunyai kewenangan untuk
menyampaikan hasil autopsi karena bukan merupakan
ahli pada bidang tersebut sehingga dikhawatirkan akan
memberikan penjelasan yang tidak sesuai dengan ilmu
forensik itu sendiri. Dengan begitu akta notaris yang
diajukan oleh KS selaku kuasa hukum keluarga NYH
bukan merupakan akta autentik dan tidak dapat pula
dijadikan alat bukti surat ataupun keterangan ahli.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis di atas dapat disimpulkan
bahwa notaris tidak mempunyai kewenangan untuk
membuat akta mengenai autopsi, karena autopsi
merupakan kegiatan yang oleh undang-undang telah
Fakultas Hukum Universitas Gresik - 566
ditugaskan kepada dokter forensik. Bahwa
terhadap akta notaris yang memuat hasil
autopsi tidak memiliki kekuatan
pembuktian sehingga bukan merupakan
alat bukti yang sah dalam perkara pidana.
Kepada Notaris agar memperhatikan ruang
lingkup kewenangan yang ditentukan oleh
undang-undang sehingga tidak terjadi
kesalah pahaman masyarakat dalam
memahami alat bukti dalam perkara
pidana dan perkara perdata.
REFERENSI
Krisnawati, I. A. (2015). Pembuktian
Perkara Perdata. Bali: Fakultas Hukum,
Universitas Udayana.
Sasangka , H., & Rosita, L. (2003). Hukum
Pembuktian Dalam Perkara
Pidana. Bandung: Mandar Maju.
Hamzah, A. (2015). KUHP & KUHAP.
Jakarta: Rineka Cipta.
Subekti, R., & Tjitrosudibio, R. (2013).
Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Jakarta: PT Balai Pustaka.
Imron, A., & Iqbal, M. (2019). Hukum
Pembuktian. Tangerang Selatan:
Unpam Press.
Indoneisa. (2014). Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris.
Harahap, Y. (2007). Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan
KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika.
Hamzah, A. (2015). KUHP & KUHAP.
Jakarta: Rineka Cipta.
Suparman, F. F. (2022, Agustus 2022).
/news/959361/akta-notaris-hasil-
autopsi-brigadir-j-dinilai-cacat-hukum/.
Diambil kembali dari beritasatu.com:
https://www.beritasatu.com/news/959361/akta
-notaris-hasil-autopsi-brigadir-j-dinilai-cacat-
hukum/?view=all&utm_source=beritasatu.co
m&utm_medium=article&utm_campaign=Ba
ca-Selengkapnya
Tim Detik. (2022, Juli 27). Berita/ Hasil Autopsi
Ulang Brigadir J Keluar Kapan? Ini Penjelasan
Dokter. Diambil kembali dari news.detik:
https://news.detik.com/berita/d-
6202355/hasil-autopsi-ulang-brigadir-j-
keluar-kapan-ini-penjelasan-dokter
Ibrahim, J. (2006). Teori dan Metodologi Penelitian
Hukum Normatif. Malang: Bayu Media
Publishing.
Walidin, W., Saifullah, & Tabrani. (2015). Metodologi
Penelitian Kualitatif & Grounded Theory.
Banda Aceh: FTK Ar-Raniry.
Santosa, D. A. (2022, Agustus 11).
/news/962657/kronologi-penembakan-
brigadir-j-hingga-ferdy-sambo-tersangka.
Diambil kembali dari www.beritasatu.com:
https://www.beritasatu.com/news/962657/kro
nologi-penembakan-brigadir-j-hingga-ferdy-
sambo-tersangka
Anggun, N. (2019, Januari-April). Kekuatan
Pembuktian dan Penilaian Alat Bukti Visum et
Repertum dalam Tindak Pidana Pembunuhan
Berencana (Studi Putusan Pengadilan Negeri
Stabat Nomor 416/Pid.B/PN.Stb). Verstek, 7,
No 1, 169-175.
Sitorus, P. A., Sihombing, C. M., Sianipar, M. P.,
Simamora, M. T., & Hutabarat, D. T. (2022,
Januari). Proses Pelaksanaan Autopsi bagi
Korban Pembunuhan. Jurnal Pionir LPPM, 8,
37-45.
Lestari, T., & Koswara, I. Y. (2022). Kaitan Autopsi
dalam Proses Penyidikan sebagai Ilmu Bantu
Kedokteran Forensik dalam Pembuktian Suatu
Fakultas Hukum Universitas Gresik - 567
Tindak Pidana. Justitia : Jurnal
Ilmu Hukum dan Humaniora, 9
No. 4, 1957-1966.
Samudera, T. (2012). Hukum Pembuktian
dalam Acara Perdata. Bandung:
Alumni.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa.
(2008). Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.